Tradisi Makan Berhidang Khas Melayu Riau yang Mulai Terlupakan

Wabup-Kampar-Makan-Bajambau.jpg
(RIAUONLINE.CO.ID/ISTIMEWA)

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Sudah pada tahu belum? Riau punya tradisi makan berhidang. Sayangnya, tradisi ini kini kian terlupakan dan hampir punah.

Tradisi budaya Melayu makan berhidang oleh nenek moyang dahulu merupakan bentuk kebersamaan dengan saling tenggang rasa antar sesama. Berdasarkan tujuan luhur ini muncul suatu nilai dalam budaya yang mengharuskan individu budaya tersebut menjaga sikapnya tatkala makan berhidang, yakni mengesampingkan ketamakan, egoisme individu, dan mengutamakan kesopanan dan nilai kesederhanaan, pada diri individu budaya tersebut.

Makan berhidang termasuk dalam satu di antara adat tradisi masyarakat melayu di Provinsi Riau yang sering juga disebut dengan makan beradap. Satu dari sejumlah daerah yang masih mempertahankan tradisi ini bahkan sudah menjadi suatu kebiasaan jika berkumpul bersama keluarga dapat dijumpai di Kampung Melayu Sungai Mempura, Kabupaten Siak dan merupakan desa wisata di Riau. 

Dahulu, makan berhidang menjadi suatu keharusan dilakukan saat perkawinan atau kenduri. Berbagai makanan mulai dari nasi, lauk pauk seperti ikan, ayam, sambal, dan sayuran, serta terdapat ulam atau yang dikenal dengan lalapan dihidangkan.

Umumnya, para orang tua Melayu dulu adalah orang-orang  yang sangat sederhana. Ketika makan bersama mereka tidak memerlukan meja. Bersama-sama mereka akan makan di lantai. Makanan dihidangkan menggunakan talam dan ditutup dengan tudung saji. 

Sebelum menikmati menu-menu yang disediakan oleh pelaksana, para peserta dijelaskan satu per satu tentang adab makan orang Melayu, mulai dari cara duduk bersila, dan cara mengambil nasi serta sajian makanan lainnya ketika akan makan. 

Orang Melayu ketika makan selalu mendahulukan sikap sopan santun serta saling menghargai satu sama lain, baik kepada yang tua maupun yang muda, antara laki-laki maupun perempuan. 


Masyarakat Melayu juga masih menganut sistem kekerabatan patrilineal, yaitu suatu sistem kekerabatan, di mana anak menghubungkan dirinya dengan ayahnya berdasarkan garis keturunan laki-laki. Dalam sistem ini, garis keturunan dan pewarisan harta dilakukan secara paternalistis, yang berarti keturunan pihak ayah (laki-laki) memiliki kedudukan yang lebih tinggi dan hak-hak yang lebih banyak.

Dalam susunan masyarakat patrilineal, penentuan keturunan, pewarisan harta, dan hak-hak sosial ekonomi, didasarkan pada garis keturunan bapak (laki-laki). Anak laki-laki dianggap sebagai penerus keluarga dan memiliki tanggung jawab untuk melanjutkan garis keturunan keluarga tersebut. Mereka juga memperoleh hak-hak istimewa, seperti hak untuk mengambil keputusan penting dalam keluarga, mendapatkan warisan yang lebih besar, dan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dalam masyarakat.

Satu contoh masyarakat Melayu menerapkan sistem kekerabatan patrilineal adalah selalu menjadikan adab sopan santun antara laki-laki dan perempuan. Perempuan bertugas melayani laki-laki dan yang muda menghormati yang tua.

Penerapan tradisi ini juga terlihat dalam makan berhidang. Kita diajarkan adab ketika makan, tumbuhnya rasa kebersamaan, dan juga tenggang rasa terhadap sesama. 

Selain itu, nilai-nilai religius dan sosial yang terdapat pada makan berhidang ini juga mampu menjadikan kita manusia yang berguna dan berbudi pekerti ke depannya.

Artikel ini ditulis Anggi, peserta program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di RIAU ONLINE