Hakikat Kemerdekaan Bangsa dan Nasib Petani Sawit Swadaya

Surjadi.jpg
(Hand Over Via Riauonline)

RIAU ONLINE, PEKANBARU-Jauh sebelum dicanangkannya Kurikulum Merdeka di ranah pendidikan yang salah satu tujuannya adalah memberi bekal yang tepat bagi para peserta didik saat berusaha mencari nafkah, jutaan warga negara Indonesia telah memilih merdeka dalam berusaha.

Para petani sawit swadaya adalah contoh mereka yang berani menciptakan lapangan pekerjaan bagi diri sendiri dan juga orang lain dengan mengusahakan perkebunan sawit.

Sayangnya menyongsong peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke 77, jutaan petani sawit swadaya masih dihadapkan pada himpitan rendahnya harga Tandan Buah Segar (TBS) dan tingginya biaya produksi.

Para petani sawit swadaya turut berjuang menjadikan minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil atau CPO) salah satu komoditas penghasil devisa andalan Indonesia paling tidak sejak 10 tahun terakhir.

Badan Pusat Statistik melaporkan bahwa kontribusi perkebunan rakyat, sebagai representasi petani sawit swadaya, adalah sekitar 35% produksi CPO nasional pada 2020 yaitu mencapai sekitar 15,5 juta ton. Sedangkan kontribusi perkebunan rakyat dalam produksi CPO di Provinsi Riau pada 2020 menduduki posisi dominan yaitu 55% atau sekitar 4,7 juta ton.

Nilai ekspor komoditas ini setiap tahunnya selalu masuk ke dalam 5 komoditas Indonesia dengan nilai ekspor tertinggi. Meskipun volume ekspor CPO pada 2021 mengalami penurunan dibanding tahun 2019 (sebelum pandemi Covid 19) yaitu dari 28,3 juta ton menjadi 25,4 juta ton, nilai ekspornya meningkat tajam dari USD14,7 milyar menjadi USD26,5 milyar.

Hal ini menunjukkan tingginya harga komoditas CPO di pasar internasional sebagai akibat dari pandemi, peningkatan penggunaan CPO dalam produksi biodiesel dan juga konflik Rusia-Ukraina.

Tingginya harga CPO di bursa komoditas internasional telah memicu terjadinya kelangkaan minyak goreng di dalam negeri. Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional melaporkan bahwa pada 7 Desember 2021, harga minyak goreng curah mencapai Rp17.850/kg, jauh di atas harga acuan Rp11.000/kg.

Pada 16 Maret 2022, Pemerintah memutuskan hanya menyubsidi minyak goreng curah dengan harga eceran tertingginya Rp14.000/kg dan melepaskan harga minyak goreng kemasan ke harga keekonomian. Setelah kebijakan ini dijalankan, media massa melaporkan sejumlah kecurangan di jalur distribusi, dimana minyak goreng curah yang dibeli dengan harga subsidi, dialihkan menjadi minyak goreng kemasan dengan harga premium. Tanpa pertimbangan ilmiah yang memadai, pada 27 April 2022, Pemerintah melarang ekspor CPO dengan tujuan menjaga pasokan CPO di dalam negeri dan mencegah lonjakan harga minyak goreng.

Kebijakan ini menjadi penghalang kemerdekaan para petani sawit swadaya dalam berusaha karena telah mendorong anjloknya harga TBS. Harga TBS di tingkat petani yang sebelumnya berada di atas Rp3.000/kg terus menurun hingga di bawah Rp.2.000/kg sebagai akibat jenuhnya stok CPO di pabrik-pabrik karena kebijakan pelarangan ekspor.

Pada akhir Mei 2022, Pemerintah mencabut larangan ekspor CPO dengan alasan pasokan minyak goreng sudah kembali melimpah, harga minyak goreng curah telah turun menjadi sekitar Rp17.000 per liter dan juga memertimbangkan nasib petani dan pekerja di industri sawit yang mencapai sekitar 17 juta orang.


Namun ketidakcermatan dalam pembuatan kebijakan membuat gangguan terhadap pasar CPO dan minyak goreng terus terjadi sehingga pada pertengahan Juni 2022 Presiden memutuskan untuk mengganti Menteri Perdagangan M.Lufti dengan Zulkifli Hasan.

Kemerdekaan berusaha para petani sawit swadaya selama ini kurang mendapat dukungan dari Pemerintah. Peraturan Menteri Pertanian No.1 Tahun 2018 mengatur pedoman penetapan harga TBS acuan di tingkat provinsi (yang besarnya ditetapkan oleh gubernur) untuk mengurangi risiko anjloknya harga TBS seperti yang kini terjadi.

Namun peraturan ini hanya berlaku bagi para petani sawit yang bermitra dengan korporasi perkebunan. Gubernur Riau melalui Pergub No.77 Tahun 2020 telah berupaya melindungi kemerdekaan berusaha para petani sawit swadaya dengan mengakui keberadaan mereka dan mendorong mereka untuk bermitra dengan korporasi perkebunan.

Namun agar berjalan efektif, peraturan ini harus didukung dengan peraturan Bupati/Walikota yang mengatur berbagai aspek teknis menuju kemitraan tersebut.

Sejak dulu para petani sawit swadaya harus melakukan perjuangan yang cukup berat dalam berusaha. Statistik Perkebunan Strategis Nasional mencatat bahwa pada 2019-2021 produktivitas perkebunan rakyat cenderung lebih rendah dari perkebunan besar swasta ataupun negara. Rerata produktivitas perkebunan rakyat di Indonesia pada 2019-2021 adalah sekitar 3,4 ton per hektar per tahun.

Angka rerata pada kurun waktu tersebut untuk Provinsi Riau adalah 3,5 ton per hektar per tahun. Sedangkan rerata produktivitas perkebunan besar swasta periode 2019-2021 di Indonesia dan Riau berturut-turut 4,3 ton dan 5 ton per hektar per tahun.

Hal ini menunjukkan belum merdekanya para petani swadaya dari kendala-kendala struktural di lapangan. Salah satu yang saat ini paling dirasakan adalah melonjaknya harga pupuk di tengah rendahnya harga TBS. Gubernur Riau pun merasa perlu bersurat ke Menteri Pertanian untuk mengadukan hal tersebut.


Meskipun merdeka dalam menjual TBS ke pabrik kelapa sawit manapun, pada praktiknya amat sedikit petani swadaya yang mampu menjual TBS langsung ke pabrik.

Pada umumnya mereka harus menjual TBS ke pedagang perantara yang biasanya menjemput TBS di kebun petani. Institusi pedagang perantara ini sudah lama hadir dan memberikan pembayaran kepada petani secara tunai setelah TBS diserahkan.

Jika petani menjual TBS ke pabrik melalui kelompok tani atau koperasi, maka ada pembayaran memerlukan proses yang memakan waktu seminggu atau bahkan lebih. Petani yang memiliki lahan terbatas (kurang dari batas ideal 5 hektar) cenderung memiliki kendala arus kas sehingga kemerdekaan dalam menerima pembayaran tunai dari pedagang perantara adalah sangat penting bagi mereka.

Apalagi tak jarang petani meminjam uang dari pedagang perantara untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sehari-hari seperti biaya kesehatan ataupun biaya pendidikan.

Meskipun telah merdeka dalam memilih bidang usahanya, para petani sawit swadaya belum cukup menikmati kemerdekaan dalam membuat pilihan-pilihan dalam rangkaian proses produksi dan pemasaran produk mereka yang berperan penting dalam perekonomian Indonesia.

 

 

 

Kunci menuju kemerdekaan yang hakiki bagi petani sawit swadaya adalah sinergi yang sistematis antara Kementerian/Lembaga di tingkat Pusat dan Daerah-daerah serta para pelaku usaha sejak di hulu, seperti mengupayakan biaya produksi yang wajar serta pendampingan bagi petani dalam berusaha, hingga ke hilir yaitu terciptanya pasar CPO yang sehat disertai kepastian hukum serta pembuatan kebijakan secara cermat.

Peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke 77 ini hendaknya menjadi momentum untuk mengingatkan pentingnya sinergi yang sistematis tersebut agar bangsa Indonesia selalu siap menghadapi tantangan-tantangan global yang kian berat.

(Surjadi, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis - Universitas Indonesia)