Inilah Jeritan Seorang Guru di Pulau Padang Menuntut Haknya Diambil Perusahaan

Kayu-Hutan-Alam.jpg
(RIAUONLINE.CO.ID)

Penulis: Wilna Sari

 

RIAU ONLINE, PEKANBARU – Ruslan, warga Desa Lukit, Pulau Padang, Kepulauan Meranti, berkeluh-kesah atas persoalan yang dihadapinya selama belasa tahun sejak 1999. Tanah yang dimilikinya seluas 14 hektare kini tak tahu seperti apa status kepemilikannya.

 

 

Ia membeli tanah itu seharga Rp 145 juta dan di bayar dengan cara mencicil sebanyak sembilan kali. Pembayaran dengan mencicil ini akhirnya ia lunasi pada 2002 silam. 

 

(Baca Juga: Tangkap Empat Pemilik Korporasi Besar di Riau

 

Dari penuturan Ruslan, PT RAPP baru masuk ke wilayahnya pada 2009 diawali dengan mendapatkan izin operasional. Saat dilakukan upaya penyelesaian, dilakukan pengukuran lahan bersama antara dirinya dan perusahaan, ketika itu bersama tiga pegawai kebun, Humas RAPP setempat.  


 

Pengukuran ini dikerjakan pada 2012 lalu, diperoleh luas lahan 137.000 meter persegi. Ruslan sehari-hari menjadi guru ini sudah melakukan upaya penyelesaian, dan ada empat kali pertemuan dirinya dengan manajemen RAPP.

 

Tak hanya itu, Ruslan juga mengadu ke berbagai instansi, seperti Pengadilan Tipikor, LSM lokal hingga nasional, dan semacamnya. Akan tetapi, itu belum berhasil mendapatkan penyelesaian.

 

“Jangankan untuk penyelesaian, pemanggilan untuk saya saja tidak pernah ada dari perusahaan. Padahal perusahaan punya tiga pilihan penyelesaian ini. Antara lain, sagu hati, kerja sama, atau bagi hasil. Tapi nyatanya tidak ada solusi saya dapatkan. Bahkan setelah dilakukan pengukuran ke lapangan, lahan pribadi itu tanpa sepengetahuan saya, dari tanaman sagu kini sudah beralih menjadi akasia,” cerita Ruslan, Senin (1/2/2016) saat ditemui RIAUONLINE.CO.ID, di kantor Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Scale Up.

 

(Klik Juga: Tak Hanya di Balai Adat, di MTQ Pun Ada Spanduk RAPP dan Sinar Mas

 

Setelah menanti lima tahun sejak laporan awal dilayangkan kepada RAPP tanpa penyelesaian, Ruslan akhirnya gencar melaporkan konflik tersebut kepada berbagai media massa dan aktivis penggerak lingkungan untuk menuntut kembali haknya.

 

“Saya ingin publik tahu, perusahaan ini belum serius menerapkan pengelolaan HTI dengan benar,” katanya.

 

Tidak adanya respon perusahaan ini juga dinilai Ruslan sebagai pengabaian terhadap hak milik warga. Sebab perusahaan selalu berdalih kalau lahan milik warga di Desa Lukit tersebut adalah lahan rampasan dari perusahaan.

 

“Perusahaan selalu memberi alasan, seolah menganggap lahan warga di Desa Lukit adalah lahan rampasan, serobotan, atau pengambilan. Padahal itu adalah lahan pembelian kami dari pihak menjual. Bahkan orang yang menjual dan penjaga kebunnya pun masih hidup hingga sekarang. Jadi sekarang ini posisinya, kami yang melapor kami yang salah,” kata Ruslan.

 


Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline