Pemutihan Perkebunan Sawit Skala Besar: Penyelamatan Hutan dengan Bayar

Ilustrasi-kebun-sawit1.jpg
(Foto: Liputan6.com/Aceng Mukaram)

RIAU ONLINE, BOGOR - Batas waktu penyelesaian sawit dalam kawasan hutan telah melewati batas akhir. Menurut amanat Undang-Undang Penetapan Perpu Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (UU Penetapan Perpu CK) bahwa pada 2 November 2023 lalu merupakan batas waktu penyelesaian persoalan sawit ilegal dalam kawasan hutan baik melalui dua tipologi 110 A maupun 110 B.

Terkini, Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono menyatakan bahwa telah teridentifikasi sebanyak 90% Perusahaan sawit yang terindikasi menjalankan bisnis dalam kawasan hutan dan sudah mengurus izin. Selain itu diketahui 200.000 hektar sawit illegal berada dalam kawasan Hutan Lindung (HL) dan Hutan Konservasi (HK). 

Pelaku usaha harus membayar denda administratif dan biaya pemulihan ke negara. Lalu dikembalikan ke negara (Pasal 110 B). Pengembalian lahan sawit ini sebagai salah satu bentuk komitmen pemerintah pengendalian perubahan iklim.

“Kami melihat bahwa proses penyelesaian sawit dalam kawasan sangat tertutup dan tidak transparan. Publik tidak diberikan informasi yang cukup untuk mengetahui sejauh mana perkembangan proses ini dalam perang masyarakat sipil melakukan mengawasi atas proses yang berlangsung. Bahkan Surat Keputusan (SK) yang dikeluarkan KLHK terkait subjek hukum yang terindikasi berada dalam kawasan hutan dan diharapkan menyelesaikan melalui mekanisme Pasal 110 A dan 110 B juga tidak dapat diakses oleh publik,” kata Direktur Sawit Watch, Achmad Surambo. 

Ia menambahkan pada prinsipnya pihaknya menolak proses pemutihan sawit di dalam kawasan hutan. Kebijakan ini dapat menjadi celah bagi Perusahaan dalam melakukan pelanggaran serupa di masa depan. Proses Pemutihan usaha perkebunan sawit di kawasan hutan dapat menimbulkan implikasi ketidakpastian hukum yang menciptakan dampak tambahan terkait penyelesaian permasalahan tanah masyarakat di kawasan hutan. 


Menurutnya, harusnya proses penyelesaian melalui mekanisme yang diatur dalam UU Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan (UU P3H) dapat dilanjutkan. 

“Sebelumnya pada September 2023 lalu, kami telah mendaftarkan uji materi pasal pemutihan sawit di dalam kawasan hutan ini kepada Mahkamah Agung,” tambahnya. 

Gugatan materil ini sebagai upaya yang Sawit Watch tempuh dalam memastikan agar perusahaan sawit tidak mengabaikan tanggung jawab atas ketidakpatuhan dan pelanggaran yang dilakukan sejak bertahun-tahun lalu. Namun hingga saat ini kami belum mendapat kepastian atau hasil akhir atas gugatan yang kami lakukan tersebut.

Gunawan, Penasihat Senior Indonesia Human Right Committee For Social Justice (IHCS) menjelaskan kebijakan pemutihan sawit dalam kawasan hutan menimbulkan implikasi ketidakpastian hukum yang menciptakan dampak tambahan terkait penyelesaian permasalahan tanah masyarakat di kawasan hutan. Seharusnya pengakuan hak atas tanah masyarakat dan reforma agraria tidak merujuk ke aturan tentang perizinan berusaha sebagaimana diatur di dalam UU Cipta Kerja dan aturan pelaksanaanya yang justru menghambat pencapaian reforma agraria dan peremajaan sawit rakyat. 

“Guna mengejar pencapaian perkebunan sawit berkelanjutan perlu didukung dengan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dengan melibatkan partisipasi publik secara lebih bermakna yang akan menciptakan transformasi sawit di mana perusahaan perkebunan tidak lagi ekspansi lahan ke kawasan hutan, melainkan percepatan penganekaragaman produk olahan sawit,” kata Gunawan.

Ketua Pusat Hukum dan Resolusi Konflik (PURAKA), Ahmad Zazali, menambahkan dalam simulasi penghitungan denda administratif kategori Pasal 110B UUCK yang dikeluarkan Kementerian LHK menunjukkan bahwa untuk sawit dalam kawasan hutan seluas 10.000 hektar dengan lama usaha produktif 10 tahun, dan keuntungan bersih per tahun per hektar setara Rp 25 juta serta tutupan hutan sebesar 20 persen, maka akan menghasilkan denda sebesar Rp 500 miliar. 

“Artinya setiap 1 hektar sawit dalam kawasan hutan akan menyetor ke rekening PNBP Kehutanan sebesar 50 juta. Jika diasumsikan semua perkebunan sawit dalam kawasan hutan milik perusahaan seluas 2,1 juta hektar membayar denda, maka negara seharusnya mendapatkan pendapatan dari PNBP Kehutanan sebesar Rp 105 triliun, ini belum termasuk denda administratif dari perkebunan milik perorangan, kelompok tani atau koperasi yang luasnya di atas 5 hektar, serta denda administratif kategori Pasal 110A UUCK. Besaran perkiraan denda tersebut jauh di atas target Kementerian LHK yang menyebut denda administratif hanya Rp50 triliun,” kata Zazali.