Tuntut Keadilan, Inilah Cara Pembangkangan Riau Terhadap Pusat

Ronny-Basista.jpg
(RIAUONLINE.CO.ID/ISTIMEWA)

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Pembangkangan Melayu Riau terhadap Pemerintah Pusat di Pulau Jawa unik dan menarik dikaji. Tak ada pembangkangan terhadap kesewenangan dan ketidakadilan diterapkan Pusat, dilawan dengan angkat senjata. 

Peneliti Riau Merdeka, Ronny Basista kepada RIAUONLINE.CO.ID mengatakan, perlawanan tersebut dimulai dari peristiwa 2 September 1985. Kala itu, Calon Gubernur dijagokan rezim Soeharto, Imam Munandar kalah telak oleh orang Riau, kala itu menjabat Sekretaris DPRD Riau, Ismail Suko. 

"Perlawanan menarik terhadap Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto yang otoriter, masyarakat Riau telah memberikan perlawanan cukup menarik perhatian di blantika perpolitikan nasional," kata Ronny, Sabtu, 8 Juni 2019. 

Bagi mahasiswa PhD student in Political Science, Victoria University of Wellington, Selandia Baru ini, sistem pemilihan kala itu sangat sentralistis dengan dipilih oleh para wakil rakyat yang berjumlah puluhan orang saja. 


 

Imam Munandar, tuturnya, kala itu merupakan Cagub "titipan" Pemerintah Pusat, seorang jenderal Angkatan Darat serta sangat kuat dan tak tergoyahkan.

"Sedangkan, Ismail Suko putra asli Riau kelahiran Pasir Pangaraian. Ia juga merupakan ayah dari Ketua DPRD Riau saat ini, Septina Primawati sekaligus mertua mantan Gubernur Riau dua periode, Rusli Zainal," jelas Ronny. 

Meski didukung penuh Soeharto, ujarnya, ternyata berdasarkan hasil voting Ismail Suko mampu mengalahkan Imam Munandar. Sehingga diputuskan voting dimenangkan birokrat tulen itu.

"Meskipun pada akhirnya Presiden Soeharto menunjuk Imam Munandar dengan menganulir hasil voting, namun sikap DPRD Riau ini mengejutkan blantika politik nasional saat itu," jelas Ronny.

Runtuhnya rezim Soeharto ternyata kembali membakar semangat Riau untuk melawan kesewenang-wenangan pusat terhadap provinsi memiliki Minyak dan Gas melimpah ini.

"Wacana Riau Merdeka kembali muncul di awal-awal reformasi. Sebenarnya berakar dari ketidakadilan pemerintah pusat terhadap Riau dalam hal pembangunan, khususnya dana bagi hasil (DBH) yang tidak adil bagi provinsi penghasil migas terbesar di Indonesia saat itu," tutupnya.