Gantikan Kelapa Sawit di Riau, Tanaman Ini Disebut Lebih Menjanjikan

Pohon-aren.jpg
(dishutbun.jogjaprov.go.id)


RIAU ONLINE, PEKANBARU - Pengamat ekonomi Riau, Edyanus Herman Halim menyebutkan satu jenis tanaman yang dianggapnya mampu menggantikan posisi kelapa sawit saat ini dan akan dibudidayakan di seluruh bentuk kontur tanah yang ada di Provinsi Riau.

Edyanus menyebut tanaman Nira tepat untuk menggantikan kelapa sawit. Nira hanya dihasilkan dari tanaman pohon aren (Anggera pinnata).

"Alternatifnya ya air nira untuk gula aren itu. Saat ini, itu lebih menjanjikan dari pada tanaman sawit," tegasnya, Rabu, 5 Desember 2018.

Pakar ekonomi Riau ini menilai, sudah saatnya tanaman sawit yang ada di Riau diganti oleh jenis tanaman tersebut.

Sarannya itu buntut dari anjloknya harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit yang kini berada di angka Rp 1.222,52 per kg, naik tipis Rp 63,09 dari harga pekan lalu sebesar Rp1.159,43 untuk setiap kg nya.

Tambahnya, selain dapat dijadikan sebagai bahan baku utama gula aren, nira dapat diubah menjadi bentuk lain seperti bioetanol yang disebut-sebut mampu menggantikan bahan bakar tak terbarukan.


"Selain dijadikan gula aren, nira juga dapat dijadikan sebagai bioetanol. Pangsa pasarnya juga saat ini menjanjikan. Di Riau sudah banyak yang memulai. Terutama di Rohul, Kuansing yang sudah mencobanya," tegasnya.

Dilansir dari mongabay.co.id bahwa aren memang benar-benar mampu dijadikan sebagai salah satu penghasil energi ramah lingkungan, bioetanol.

Berdasarkan hasil inventarisasi KPHP Boalemo, wilayah yang memiliki 15.000 pohon aren ini memiliki produktivitas yang cukup tinggi. Satu pohon dapat menghasilkan 15-20 liter aren perhari. Berkat pendampingan KPHP Boalemo, kini nira malah dijadikan bioethanol.

Dwi Sudharto, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan KLHK di Jakarta, Jumat 10 Maret 2017 mengatakan potensi ini kurang dimanfaatkan. Namun terbantukan oleh satu desa yang telah memulainya.

Keberhasilan Desa Bendungan mengelola nira aren menjadi bioethanol karena di wilayah ini memiliki kelompok tani dan badan usaha desa. Ketertarikan masyarakat saat mengenalkan alat membuat bioethanol sangat tinggi.

“Kita sudah punya alat membuat bioethanol aren. Paten juga ada di kita,” katanya.

Dari segi hitungan keuntungan ekonomi, tentu mengelola nira aren jadi bioethanol lebih menjanjikan. Untuk mengolah nira aren jadi gula, dalam setiap 50 liter akan hasilkan tujuh kg. Dengan asumsi harga Rp80.000, keuntungan Rp5.000 perkilogram. Begitupun pengolahan panganan lain, seperti gula semut untung Rp. 4.688 per kg.

Setiap 25 liter nira aren, jika diolah dengan katalisator bisa menghasilkan dua liter bioethanol dengan kadar 90-92 persen. Yang diolah tanpa katalisator kadar ethanolnya 72 persen. Hasil bioethanol 216.000 liter perbulan dengan biaya produksi Rp6.700. Dengan asumsi harga jual bioethanol mix perliter Rp10.000, harga jual Rp440.000 atau keuntungan Rp145.200.

“Harusnya ini yang kita kembangkan. Jangan tabung gas mahal itu. Kalau alat ini kita buat dan serahkan ke desa-desa, yang notabene bahan baku ada, akan sangat menguntungkan. Hak paten ada di kita. Kalau mau tinggal minta gambar, masyarakat bisa membuat alatnya. Atau kalau tak menegrti, bisa undang kami. Akan mudah masalah kompor ini. Jadi kita bisa menghemat banyak sekali,” katanya.