Setya Novanto, Penjual Beras Nan Tampan Jadi Ketua DPR dan Kini Pesakitan

Setya-Novanto-muda.jpg
(SUARA.COM)

RIAU ONLINE - Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis 15 tahun penjara untuk mantan Ketua DPR RI Setya Novanto, Selasa, 24 April 2018. Hakim menilai Setnov terbukti melakukan korupsi dana anggaran proyek pengadaan KTP elektronik periode 2011-2012.

Selain divonis penjara, Setnov juga dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak politik.

“Mencabut hak politik terdakwa selama lima tahun, terhitung sejak menjalani masa hukuman utamanya,” kata ketua Majelis Hakim Yanto saat membacakan putusan terhadap Setnov di Gedung Pengadilan Tipikor, Jalan Bungur Besar Raya Kemayoran, Jakarta Pusat, melansir Suara.com, Selasa, 24 April 2018.

Pencabutan hak politik itu otomatis membuat Setnov baru bebas beraktivitas dalam bidang politik setelah keluar dari balik jeruji besi.

Tapi sebelumnya, ternyata Setya Novanto lahir pada 12 November 1955 di Bandung, Jawa Barat memiliki kisah perjalanan hidup yang berliku.

Saat ia masih duduk di SD, orang tuanya bercerai. Saat SMA, ia pun bertemu dengan Hayono Isman yang kelak menjadi Menteri Pemuda dan Olahraga era Orde Baru dan pembina politiknya di Golkar.

Selepas SMA, Setnov berkuliah di Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya. Semasa kuliahnya Setnov memiliki pekerjaan sampingan. Bermodalkan Rp 82.500, Setnov berjualan beras dan madu dengan kulakan tiga kuintal beras higga mampu berjualan beras sampai dua truk yang langsung diambil dari pusatnya, Lamongan.

Bahkan, Setnov juga punya kios di pasar Keputran, Surabaya. Sayangnya, predikat sebagai juragan beras ditinggalkannya karena mitra usahanya mulai tidak jujur.

Pada era 1970-an itu, ia juga merintis karier sebagai model. Bahkan, ia pernah dinobatkan sebagai “Lelaki Tertampan se-Surabaya tahun 1975”.

Setnov kemudian membangun CV Mandar Teguh bersama putra Direktur Bank BRI Surabaya, Hartawan. Pada saat itu pula ia ditawari bekerja menjual mobil salesman Suzuki untuk Indonesia Bagian Timur.

Setnov mengambil tawaran itu dan membubarkan CV yang didirikannya. Kepiawannya dalam berjualan, membuat Setnov yang saat itu masih berusia 22 tahun, tercatat sebagai mahasiswa Jurusan Akuntansi yang menjadi Kepala Penjualan Mobil untuk wilayah timur Indonesia.


Setelah lulus kuliah, Setnov mulai bekerja di PT Aninda Cipta Perdana yang bergerak sebagai perusahaan penyalur pupuk PT Petrokimia Gresik untuk wilayah Surabaya dan Nusa Tenggara Timur.
PT Aninda adalah milik Hayono Isman, teman sekelasnya di SMAN 9 Jakarta.

Ternyata, pertemanannya dengan Hayono Isman mengantar Setnov untuk berkiprah di dunia politik. Pada 1982, Setnov pun memutuskan kembali ke Jakarta dan meneruskan kuliah jurusan akuntansi di Universitas Trisaksi. Selama itu, ia indekos di rumah Hayono. Selain menjadi staf, ia juga mengurus kebun, menyapu, mengepel, hingga menyuci mobil dan menjadi sopir pribadi keluarga Hayono.

Setelahnya, Setnov banyak berkiprah di dunia politik hingga tahun 2016, ia dipilih sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Selanjutnya, ia juga menjadi Ketua DPR RI hingga kasus korupsi dana e-KTP ikut menyeret namanya.

Namun pada 207, Setnov masuk ke pusaran korupsi e-KTP sejak 17 Juli 2017, yakni ketika KPK menetapkan dirinya sebagai tersangka.

Lantas, Setnov mendaftarkan gugatan praperadilan melawan keputusan KPK itu ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 4 September tahun lalu.

Alhasil, pada 29 September 2017, majelis hakim PN Jakarta Selatan menyatakan status tersangka yang diterapkan KPK kepada Setnov tidak melalui prosedur sah. Hakim juga memutuskan KPK harus menghentikan penyidikan terhadap Setnov.

Tapi, pada 5 Oktober 2017, KPK kembali melakukan penyelidikan baru terhadap kasus korupsi e-KTP yang melibatkan Setnov.

Selang sebulan, persisnya 10 November, KPK resmi kembali menetapkan Setnov sebagai tersangka kasus e-KTP.

Pada 15 November, Setnov dijemput paksa KPK di kediamannya setelah tiga kali mangkir dari pemeriksaan. Tapi, Setnov tak berada di rumahnya, Jalan Wijaya XIII Nomor 19 Melawai, Jakarta Selatan. Setnov dinyatakan buron.

Pada 16 November malam dan masih diburu KPK, Setnov didapati kecelakaan tunggal di daerah Permata Hijau. Ia lantas dirawat di RS Medika Permata Hijau.

Sehari setelah dirawat, 17 November, KPK resmi menahan Setnov sebagai tersangka kasus e-KTP. Karena sakit, KPK membantarkan penahanan dan memasukkan Setnov ke RSCM.

Pada 13 Desember 2017, sidang perdana pokok perkara Setnov digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta. Setnov yang sempat mengajukan praperadilan untuk kali kedua harus gigit jari. Sebab, dengan digelarnya sidang perdana tersebut, upayanya itu batal demi hukum.

Hingga pada 29 Maret, JPU KPK menuntut majelis hakim memvonis Setnov penjara 15 tahun, mencabut hak politik, denda, serta dipaksa mengembalikan uang dikorupsinya.

Akhirnya hari ini, Selasa, 24 April 2018, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis Setnov dengan hukuman 15 tahun penjara, denda Rp 500 juta, pencabutan hak politik selama 5 tahun, dan dipaksa mengembalikan uang yang dikorupsi. Setnov sendiri belum mau menyatakan banding.

Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE 

Follow Twitter @red_riauonline

Subscribe Channel Youtube Riau Online

Follow Instagram riauonline.co.id