MHTI Tolak Feminisme dalam Kongres KMIP

 

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Bulan Oktober adalah bulan pemuda. Karena pada bulan inilah sejarah mencatat adanya sebuah gerakan pemuda yang ingin menyelamatkan Indonesia dari penjajahan. Mengingat begitu banyaknya pemikiran feminisme yang masuk ke tengah-tengah mahasiswi mendasari Muslimat Hizbut Tahrir Indonesia (MHTI) menggelar event akbar bertajuk Kongres Mahasiswi Islam untuk Peradaban (KMIP) 2015, Minggu(25/10).

 

Demikian dikatakan Perwakilan DPD I Muslimah HTI Riau Riska Andayani melalui rilis yang diterima RIAUONLINE.CO.ID, Minggu (25/10/2015). Menurutnya, racun pemikiran feminis telah melekat pada diri intelektual mahasiswi. “Ketika perempuan dianggap bisa menggerakkan roda perekonian dengan bekerja sehingga meninggalkan perannya sebagai ibu dan pengurus rumah tangga adalah sebuah pembohongan publik. Karena sebenanrya ini adalah akibat ketidakmampuan negara memberikan lapangan kerja untuk laki-laki,” ungkapnya.

 

Acara yang mengangkat tema Intelekual Muda Tegakkan Khilafah! Selamatkan Intelektual Muda dari Cengkeraman Neokolonialis-Feminis tersebut menghadirkan dua pemateri Kurnia Budiyanti, M.Pd dan Dina Hidayat, MSi. (BACA JUGA: Sudah 73.461 Warga Riau Terserang ISPA)

 

Menurut Kurnia, perguruan tinggis aat ini berada dalam cengkeraman korporasi. “Biarpun harga pendidikan mahal, tapi masyarakat berusaha mengagapinya,” kata Dosen UIN Sultan Syarif Qasim ini.


 

Intelektual muda sebenarnya menyadari dan ingin mengambil alih korporasi dari cengkeraman asing. Akan tetapi, lewat sistem pendidikan, maka intelektual muda hanya sebagai pekerja. “Jika dibiarkan maka negara kita akan mengalami kematian,” ungkapnya. (KLIK: Mahasiswa Sakai: Pemerintah Serakah Babat Hutan Kami)

 

Sementara menurut Dina Hidayat, pendidikan adalah tanggung jawab negara. Di masa Umar bin Khatab sanggup menggaji guru TK sebesar Rp25 juta. Jadi, tanggung jawab negara menyediakan berbagai fasilitas. Islam juga melahirkan intelektual muslimah, misalnya Maryam al-Astrolabi, penemu astrolabe yang menadi peletak pertama teknologi GPS.

 

Saat memaparkan materi mengenai peran penting kebijakan sebuah negara dalam mencetak ilmuwan, Dina menyebutkan, tanpa adanya tanggung jawab negara tidak akan bisa melahirkan ilmwuwan atau cendekiawan. Tapi sekarang negara menyerahkan kepada korporasi maka tidakakan pernah kita rasakan seperti pada sistem pendidikan Islam.

 

“Kurikulum dalam sistem Islam ditentukan oleh negara bukan ditentukan intervensi asing. Materi yang dimasukkan di perguruan tinggi sekarang adalah intervensi dari pengusaha sehingga kita diminta punya skill untuk memenuhi tenaga kerja yang dibutuhkan korporasi,” ungkap Dina di hadapan 700 mahasiswi yang memenuhi PKM Universitas Lancang Kuning.

 

Dengan demikian, unversitas mempersiapkan intelektual muda untuk bisa memenuhi keinginan korporasi tersebut.

 

Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline