Kembali Jerat Politisi, Barangkali Memperkuat Alasan KPK Bubar

RIAU ONLINE, JAKARTA - Di saat gonjang-ganjing revisi Undang Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), komisi anti rasuah ini kembali menunjukkan taringnya. Operasi tangkap tangan terhadap anggota DPR dari Fraksi Hanura berinisial DYL, semakin menambah panjang daftar politisi yang dijerat kasus hukum.

 

Indonesia Corruption Watch menilai, dengan banyaknya politisi yang dijerat, wajar apabila partai politik lewat fraksinya di DPR berniat merancang revisi Undang-undang yang hendak melemahkan, bahkan membubarkan KPK. (BACA: Dewi Yasin Limpo Ditangkap KPK)

 

"Barangkali ini alasan mengapa banyak partai politik yang tidak suka dengan KPK dan lebih ingin lembaga ini bubar atau dilemahkan," kata aktivis ICW Emerson Yuntho dalam keterangan tertulisnya, Rabu (21/10/2015).

 

Dikutip dari laman Kompas.com, DPR periode 2014-2019 yang baru berjalan satu tahun, setidaknya sudah ada tiga anggota yang terjerat oleh KPK.

 

Sebelumnya, KPK telah menangkap tangan Anggota Fraksi PDI-P Adriansyah dan menetapkan tersangka Anggota Fraksi Nasdem Patrice Rio Capella. (KLIK: Tersangka, Patrice Rio Capella Mundur dari Nasdem)

 


ICW mencatat, DYL menjadi politisi ke-82 yang dijerat sejak KPK berdiri pada 2002. "Jadi KPK sudah menjerat politisi dari semua partai politik. Politisi Golkar dan PDI-P masih yang terbanyak dijerat oleh KPK," kata Emerson.

 

Sebelumnya, dalam rapat Badan Legislasi pada (6/10/2015), sejumlah anggota dari enam fraksi di DPR mengusulkan revisi UU KPK masuk dalam program legislasi nasional prioritas 2015.

 

Dalam draf revisi yang dibagikan di rapat itu, diatur bahwa masa kerja KPK hanya 12 tahun setelah UU diundangkan.

 

Draf itu juga mengatur batasan bahwa KPK hanya bisa menangani kasus dengan kerugian negara minimal Rp 50 miliar.

 

Kewenangan penyadapan KPK juga harus dilakukan melalui izin pengadilan. Kemudian, KPK diusulkan tak lagi menyelidik dan menyidik perkara korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum.

 

KPK juga nantinya akan memiliki kewenangan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Terakhir, akan dibentuk juga lembaga pengawas untuk mengawasi kinerja KPK.

 

Setelah ditolak banyak pihak, pemerintah dan DPR telah bersepakat menunda pembahasan RUU KPK.

 

Kesepakatan ini tercapai setelah Presiden Joko Widodo dan pimpinan DPR bertemu dalam rapat konsultasi di Istana Negara, Selasa (13/10/2015) sore.