Cegah Mobilisasi Massa, Perbatasan Aceh-Sumut Dijaga Ketat

Kapolri-Badrodin-Haiti.jpg
(INTERNET)

 

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Mencegah adanya mobilisasi massa dari Sumatera Utara (Sumut), Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti telah memerintahkan jajarannya untuk melakukan penyekatan di perbatasan antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara untuk mencegah mobilisasi massa.

 

"Jangan sampai ada kegiatan dari Sumatera Utara masuk Singkil," kata Badrodin dalam konferensi pers di kediaman dinasnya, Selasa malam (13/10/2015). (BACA JUGA: HMI UIR Tolak Revisi UU KPK)

 

Penyekatan itu ditempatkan di tiga titik, yakni perbatasan dengan Tapanuli Tengah, Pakpak Barat dan Dairi. Tiga jalur itu diperkuat oleh pasukan sebanyak dua satuan setingkat pleton.

 

Selain itu, Polri juga menggerakan personel Brigade Mobil dari Kepolisian Daerah Aceh ke Kabupaten Aceh Singkil untuk menjaga kondisi tetap kondusif.

 

Walau demikian, dia menampik sudah ada gerakan massa yang berpotensi memperkeruh suasana di Aceh. "Kami melakukan antisipasi, gerakan itu tidak ada."

 

Gerakan yang ada, kata Badrodin, hanya dari masyarakat yang ketakutan dan berniat mengungsi dari Aceh ke Sumatera Utara. "Jumlahnya belum tahu berapa, tapi tidak banyak."

 


Menurut Badrodin, kejadian itu berawal pada 11.00 WIB. Sekelompok massa yang membawa senjata tajam dan menggunakan kendaraan bermotor menyebar melakukan pembakaran. (KLIK: Riau Defisit Beras 326 Ribu Ton)

 

Saat itu, terjadi bentrokan dengan kelompok masyarakat yang mempertahankan fasilitas agar tidak dibakar. Akibat bentrok tersebut, seorang korban jiwa dan empat korban luka-luka.

 

Suasana belum sepenuhnya kondusif di Aceh Singkil akibat peristiwa pembakaran yang terjadi Selasa (13/10). Berdasarkan informasi yang didapat Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) setidaknya ada dua gereja yang terbakar.

 

Kepala Bidang Humas PGI Jeirry Sumampow mengatakan bahwa satu gereja yang kondisinya masih mencekam adalah Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD) yang terletak di Aceh Singkil.

 

"Suasana di GKPPD tegang dan mencekam karena massa masih berusaha untuk membakar gereja itu," kata Jeirry, Selasa (13/10).

 

Tak hanya gereja yang terancam, Jeirry mengatakan bahwa sejumlah orang keselamatannya terancam karena aksi massa tersebut. Jeirry menyebut, pendeta Erde Brutu sebagai salah satu pendeta yang saat ini kondisinya terancam.


"Dia terancam oleh massa dan saat ini masih diusahakan keluar dari gereja," katanya.

 

Sementara untuk gereja yang sudah terlanjur dibakar, adalah Gereja Huriak Kristen Indonesia dan satu lagi adalah Gereja Katolik di Gunung Meria.

 

Sebagai catatan, pada Selasa (6/10) massa dari Pemuda Peduli Islam (PPI) menggelar unjuk rasa dan mendesak pemerintah daerah segera membongkar gereja yang dituding tidak memiliki izin.

 

Saat itu, PPI memberikan batas waktu hingga hari ini untuk membongkar dan jika tidak dipenuhi maka mereka akan melakukan pembongkaran sendiri.

 

Sayangnya saat kesepakatan antara pemerintah daerah dan para tokoh agama di Aceh Singkil telah ditandatangani dan disosialisasikan pada Senin (12/10), peristiwa pembongkaran paksa tetap terjadi hari ini. Namun untuk siapa pelaku pembakaran dan pembongkaran hingga kini belum jelas pelakunya.

 

"Setidaknya ada dua gereja yang dibakar massa, yaitu HKI dan satu gereja Katolik. Bahkan tindakan intoleran tersebut telah menimbulkan korban meninggal," ujar Eri.