Muslimah di Gedung Putih: Saya Hanya Bertahan 8 Hari Sejak Trump Masuk

Rumana-Ahmed1.jpg
(AL ARABIYA)

RIAU ONLINE - Masih ingat dengan Rumana Ahmed? seorang wanita Muslim berhijab yang menjadi salah satu dari tim penasehat Presiden Amerika, di Gedung Putih. Setelah Barack Obama menyerahkan tahtanya kepada Donald Trump, akankah Rumana diterima dan dilibatkan seperti saat era Obama lalu?

Seperti Muslim Amerika Serikat lainnya, Rumana yang merupakan satu-satunya muslimah berhijab di West Wing Gedung Putih itu juga merasa khawatir ketika Donald Trump menjelek-jelekkan komunitasnya selama kampanye 2016. Namun, atau karena Trump, ia tetap bertahan bekerja sebagai staf NSC.

"Sejak Donald Trump di Gedung Putih, saya hanya bertahan delapan hari," katanya kepada The Atlantic, Rabu, 1 Maret 2017.

Saat Trump mengeluarkan kebijakan yang melarang wisatawan dari tujuh negara mayoritas Muslim dan semua pengungsi Suriah, Rumana menyadari bahwa ia tidak bisa lagi tinggal dan bekerja untuk pemerintahan yang telah dipimpin Trump.

Baca Juga: Mengenal Rumana Ahmed, Wanita Muslim Berhijab Penasihat Keamanan Presiden Obama

"Saya tahu saya tidak bisa lagi tinggal dan bekerja untuk pemerintahan yang melihat saya dan orang-orang seperti saya tidak sebagai sesama warga negara, tetapi sebagai ancaman," lanjutnya.

Malam sebelum ia pergi, Rumana mengucapkan selamat tinggal kepada beberapa rekannya, ternyata saat itu banyak dari mereka yang juga telah berencana untuk keluar dan memberitahukan penasihat senior NSC Trump, Micheal Anton yang seruangan dengan Rumana.

Micheal terkejut dengan keputusan Rumana dan menanyakan apakah Rumana akan meninggalkan pemerintahan selamanya. Namun, ia tak bertanya alasan Rumana.

"Saya katakan, saya harus pergi karena merupakan penghinaan bagi saya memasuki gedung paling bersejarah di negeri ini setiap hari di bawah pemerintahan yang bekerja dan menjelekkan segala sesuatu yang saya perjuangkan sebagai seorang Amerika dan sebagai seorang Muslim," tegasnya.


Klik Juga: Presiden Trump Akan Membuat Kita Meninggalkan Amerika, Kemana Kita Akan Pergi?

Rumana juga mengatakan kepada Micheal bahwa ia berharap bahwa mereka dan orang-orang di kongres siap untuk mengambil tanggung jawab atas semua konsekunsi yang akan diterima dari setiap keputusan yang mereka ambil.

"Dia hanya menatapku dan tidak berkata apa-apa," kata Rumana.

Kemudian, Rumana mengetahui bahwa Micheal menulis artikel dengan nama samaran, memuji pemerintahan otoriter dan menyerang keragaman sebagai "kelemahan" dan Islam "tidak sesuai dengan Barat modern."

"Selama hidup saya dan semua yang saya telah pelajari membuktikan bahwa pendapat itu salah," katanya.

Rumana dan orangtuanya berimigrasi ke Amerika Serikat dari Bangladesh pada 1978. Di Amerika, orang tuanya berusaha menciptakan peluang bagi anak-anaknya yang lahir di Amerika Serikat. Sang ibu bekerja sebagai kasir, dan memulai bisnis penitipan anak.

Sedangkan ayah Rumana, dipromosikan seabgai wakil asisten presiden disalah satu kantor pusat Bank of America. Rumana dan keluarganya bermimpi untuk hidup nyaman di Amerika dan mengejar gelar Ph.D. Namun pada 1995, ayah Rumana tewas dalam kecelakaan mobil.

Lihat Juga: Inilah Kekhawatiran Dunia Terhadap Kemenangan Trump pada Pilpres Amerika Serikat

Di usia 12 tahun Rumana memutuskan untuk mengenakan jilbab. Ia mendapat dukungan dari keluarganya. Menurutnya, berhijab adalah masalah iman, identitas, dan membuatnya untuk bertahan.

Namun setelah peristiwa 9/11, semua berubah. Ia harus menghadapi ketakutan dari anak-anak terhadapnya. "Orang menyebut saya "teroris" dan mengatakan kepada saya, "kembali negaramu"," katanya.

"Ayah saya mengajarkan saya pepatah Bengali yang terinspirasi dari kitab suci Alquran bahwa ketika seorang pria menjatuhkanmu, bangkit kembali, ulurkan tanganmu dan panggil ia saudara. Perdamaian, kesabaran, ketekunan, rasa hormat, memaafkan dan martabat. Ini adalah nilai-nilai yang saya sudah lakukan dalam hidup saya dan karir saya," kenang Rumana.

Rumana mengatakan ia tak pernah memiliki keinginan untuk bekerja di pemerintahan. Namun, Presiden Obama menginspirasinya untuk bergabung di Gedung Putih pada 2011, setelah lulus dari Universitas George Washington.

Namun sepanjang 2015 dan 2016, Rumana kembali menyaksikan ketakutan dan kecemasan. Terlebih lagi saat Trump mulai berkampanye dengan memberi rasa takut dan Islamofobia.

"Sementara menyadari Trump akan menang, saya berharap pemilih tidak akan pernah memaafkan pandangan dunia yang penuh kebencian dan memecah belah tersebut," kecam Rumana.

Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline