Pimpinan KPK Terpilih Ini Pernah Putuskan Ratu Atut Tidak Bersalah

marwata.jpg
(INTERNET)

RIAU ONLINE, JAKARTA - Rekam jejak Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang baru terpilih ini pernah diragukan lantaran pendapatnya berbeda saat menjadi hakim ad hoc di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Alexander Marwata justru memberikan pendapat berbeda untuk kasus yang menjerat Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Ia sebut Atut tidak bersalah.

 

Komisi III DPR telah memilih Alexander Marwata sebagai salah satu pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Kamis (17/12/2015) malam.

 

Dikutip dari laman Kompas.com, Alexander mendapatkan 46 suara dalam voting tahap pertama. Dengan demikian, dia menjadi salah satu dari lima pimpinan KPK periode 2015-2019. (KLIK: Kalah Tipis, Dua Calon Bupati di Riau Gugat ke MK)

 

Ia merupakan lulusan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) dan Universitas Indonesia (UI). Sebelum menjadi hakim, Alexander adalah salah satu auditor di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

 

Saat menjadi hakim tipikor, sikapnya yang sering memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion) terkait penanganan kasus korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sempat membuat dia diragukan untuk pimpin KPK.


 

Salah satunya, saat Alex menilai mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. (BACA: Agus Raharjo Terpilih Sebagai Ketua KPK)

 

"Terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam dakwaan primer dan subsider dan harus dibebaskan," kata Alexander dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (1/9/2014).

 

Namun, Alexander mengatakan bahwa pendapat berbeda yang dimilikinya itu karena tidak ingin putusan diambil berdasarkan opini yang berkembang di masyarakat atau media massa.

 

"Saya buat dissenting bukan untuk gagah-gagahan. Justru dissenting itu harus jadi koreksi, jadi introspeksi untuk KPK dan kejaksaan," ujarnya.

 

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Miko Ginting, pernah menyoroti pendapat Alexander terkait dengan dakwaan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

 

Alexander berpendapat bahwa TPPU baru bisa dikenakan pada terdakwa, apabila tindak pidana awal telah dibuktikan terlebih dahulu.

 

"Padahal undang-undang memperbolehkan seseorang didakwa dalam kasus TPPU tanpa harus dibuktikan pidana sebelumnya. Jadi pendapatnya berlawanan dengan undang-undang," kata Miko.